A.Employee Engagement (Keterikatan Karyawan)
1.
Definisi Employee Engagement
Istilah employee engagement pertama kali
dipopulerkan oleh Kahn (1990), ia menyatakan bahwa employee engagement
sebagai keterikatan anggota organisasi dengan organisasi itu sendiri bukan
hanya secara fisik, kognitif tetapi bahkan secara emosional dalam hal
kinerjanya (Albrecht, 2010). Walaupun sebetulnya
sudah ada konsep serupa seperti komitmen organisasi (Allen & Meyer, 1991),
kepuasan kerja yang sudah lebih dahulu ada (Meyer dkk., dalam Albrecht,
2010). Memang istilah employee engagement belakangan ini
dipopulerkan oleh Gallup Consultant dengan berbagai hasil survey-nya. Walaupun
beberapa ahli masih memperdebatkan definisi employee engagement masih
tumpang tindih dengan konsep lainnya. Namun ada satu benang merah yang
disepakati bahwa employee engagement sangat penting dalam organisasi
dan sangat erat kaitannya dengan kinerja.
Employee
engagement merupakan rasa keterikatan secara emosional dengan
pekerjaan dan organisasi, termotivasi dan mampu memberikan kemampuan terbaik karyawan
untuk membantu sukses dari serangkaian manfaat nyata bagi organisasi dan
individu (McLeod, 2009). Menurut Wellins dan Concelman (2004)
menyebutkan employee engagement
sebagai kekuatan ilusi yang memotivasi pekerja ke level performa lebih tinggi (Kulaar,
2008). Menurut Kahn (1990) employee
engagement merupakan bentuk multidimensional dari aspek
emosi, kognitif, dan fisik karyawan yang saling terikat (Saks, 2006). Rothbar
(2001) mengemukakan pula penjelasan tentang keterikatan sebagai suatu konstruk
motivasional yang memiliki dua dimensi yang meliputi attention (ketersediaan
kognitif seseorang untuk memikirkan peran kerjanya dalam suatu periode waktu)
dan penghayatan (intensitas seseorang dalam memfokuskan diri pada peran
kerjanya (Saks, 2006).
Organisasi
yang terikat memiliki
kekuatan dan nilai otentik, dengan bukti yang jelas dari kepercayaan dan keadilan
yang didasarkan pada saling menghormati, di mana keduanya memiliki janji dan
komitmen antara employer dan employee yang dipahami dan
terpenuhi, (McLeod, 2009). Schaufeli & Bakker (2010) mendefinisikan employee
engagement sebagai sikap yang positif, penuh makna, dan motivasi, yang
dikarakteristikkan dengan vigor, dedication, dan absorption. Vigor
dikarakteristikkan dengan tingkat energi yang tinggi, resiliensi, keinginan
untuk berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi tantangan. Dedication ditandai
dengan merasa bernilai, antusias, inspirasi, berharga dan menantang. Absorption
ditandai dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas, (Schaufeli &
Bakker, 2010).
Dari
berbagai definisi yang dikemukakan oleh beberapa tokoh di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa employee engagement adalah sebagai sikap yang positif
yang dimiliki karyawan dengan penuh makna, dan energi motivasi yang tinggi,
resiliensi dan keinginan untuk berusaha, dan tidak menyerah dalam menghadapi
tantangan dengan konsentrasi penuh terhadap suatu tugas yang disesuaikan dengan
nilai dan tujuan organisasi.
2.
Dimensi employee engagement
Dimensi
dari employee engagement terdiri dari tiga (Schaufeli & Bakker, 2003),
yaitu:
a. Aspek Vigor
Vigor
merupakan
aspek yang ditandai dengan tingginya tingkat kekuatan dan resiliensi mental
dalam bekerja, keinginan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh di dalam
pekerjaan, gigih dalam menghadapi kesulitan (Schaufeli & Bakker, 2003).
b. Aspek Dedication
Aspek
dedication ditandai oleh suatu perasaan yang penuh makna, antusias,
inspirasi, kebanggaan dan menantang dalam pekerjaan. Orang-orang yang memiliki
skor dedication yang tinggi secara kuat mengidentifikasikan pekerjaan karyawan
karena menjadikannya pengalaman berharga, menginspirasi dan menantang. Karyawan
biasanya merasa antusias dan bangga terhadap pekerjaan yang di lakukan.
Sedangkan skor rendah pada dedication berarti tidak mengidentifikasi
diri dengan pekerjaan karena karyawan tidak memiliki pengalaman bermakna, menginspirasi
atau menantang, terlebih lagi merasa tidak antusias dan bangga terhadap
pekerjaan (Schaufeli dan Bakker, 2003).
c. Aspek Absorption
Aspek
absorption ditandai dengan adanya konsentrasi dan minat yang mendalam, tenggelam
dalam pekerjaan, waktu terasa berlalu begitu cepat dan individu sulit
melepaskan diri dari pekerjaan sehingga dan melupakan segala sesuatu disekitarnya,
(Schaufeli & Bakker, 2003). Orang-orang yang memiliki skor tinggi pada absorption
biasanya merasa senang perhatiannya tersita oleh pekerjaan, merasa
tenggelam dalam pekerjaan dan memiliki kesulitan untuk memisahkan diri dari
pekerjaan. Akibatnya, apapun yang ada di sekitarnya terlupa dan waktu terasa
berlalu cepat. Sebaliknya, orang dengan skor absorption yang rendah
tidak merasa tertarik dan tidak tenggelam dalam pekerjaan, tidak memiliki
kesulitan untuk berpisah dari pekerjaan dan karyawan tidak lupa segala sesuatu di
sekitar karyawan, termasuk waktu (Schaufeli & Bakker, 2003).
Menurut Macey, Schneider, Barbera &
Young (2009) employee engagement mencakup 2 dimensi penting, yaitu:
a. Employee engagement sebagai energi psikis
Karyawan merasakan pengalaman puncak (peak experience)
dengan berada di dalam pekerjaan dan arus yang terdapat di dalam pekerjaan
tersebut. Employee engagement merupakan keseriusan ketika larut dalam
pekerjaan (immersion), perjuangan dalam pekerjaan (striving), penyerapan
(absorption), fokus (focus) dan juga keterlibatan (involvement).
b. Employee
engagement sebagai energi tingkah laku:
Employee engagement terlihat
oleh orang lain dalam bentuk tingkah laku yang berupa hasil. Tingkah laku yang
terlihat dalam pekerjaan berupa:
1) Karyawan akan berfikir dan
bekerja secara proaktif, akan mengantisipasi kesempatan untuk mengambil
tindakan dan akan mengambil tindakan dengan cara yang sesuai dengan tujuan
organisasi.
2) Karyawan yang terikat tidak terikat pada “job description”, karyawan
fokus pada tujuan dan mencoba untuk mencapai secara konsisten mengenai
kesuksesan organisasi.
3) Karyawan secara aktif mencari jalan untuk dapat memperluas
kemampuan yang dimiliki dengan jalan yang sesuai dengan visi dan misi
perusahaan.
4) Karyawan pantang menyerah walau dihadapkan dengan rintangan atau
situasi yang membingungkan.
Menurut Watson (dalam
Novianto 2012) keteterikatan karyawan mengacu pada hubungan yang luas dan
mendalam antara orang dan organisasi. Keterikatan memainkan peran penting dalam
lingkungan bisnis. Dapat didefinisikan, employee
engagement meliputi 3 dimensi yaitu :
a. Rational : karyawan memahami dengan baik peran dang tanggung jawab karyawan.
b. Emotional : seberapa banyak gairah/antusias karyawan untuk bekerja dan
antusias terhadap organisasi karyawan.
c. Motivational : karyawan bersedia berkontribusi dengan berusaha dan bekerja
sesuai peran karyawan masing-masing dengan baik.
Dari
berbagai dimensi yang telah di kemukakan oleh berbagai tokoh, peneliti
menentukan dimensi yang di kemukakan oleh Schaufeli & Bakker (2003) yang
menyebutkan bahwa ada 3 dimensi pembentuk employee
engagement yaitu : aspek virgo, aspek
dedication dan aspek absorption.
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Employee
engagement
Faktor-faktor
yang membuat karyawan merasa terikat
(BlessingWhite, 2011) adalah sebagai berikut:
a. Individuals (I): Ownership, Clarity, and Action.
Individu
perlu mengetahui apa yang karyawan inginkan, apa kebutuhan organisasi, dan
kemudian mengambil tindakan untuk mencapai kedua hal tersebut. Hal ini sejalan
dengan yang dikemukakan oleh Maslach, Schaufelli, dan Leiter (2001) bahwa employee
engagement dikarakteristikkan dengan kekuatan, dedikasi dan kesenangan
dalam bekerja (Kulaar, 2008). Keterikatan
dasarnya persamaan individual. Hal ini mencerminkan hubungan yang
unik pada setiap orang dengan pekerjaan. Para pemimpin dan manajer tidak dapat
dan tidak harus memikul seluruh beban melibatkan tenaga kerja karyawan.
Individu harus memiliki keterikatan,
datang bekerja dengan motivator yang unik, minat, dan bakat
(BlessingWhite, 2011).
2. Managers (M):
Coaching, Relationships, and Dialogue.
Manajer
harus memahami bakat masing-masing individu, kepentingan, dan kebutuhan dan
kemudian mencocokkan karyawan dengan tujuan organisasi, sementara pada saat
yang sama menciptakan hubungan interpersonal yaitu hubungan saling percaya.
Manajer yang terikat juga
mempengaruhi level employee engagement (Vazirani, 2007). Hubungan
interpersonal yang saling mendukung dan membantu antar karyawan akan
meningkatkan level keterikatan dari
karyawan (Vazirani, 2007). Manajer harus mengendalikan keterikatan karyawan sendiri. Manajer harus memfasilitasi keterikatan sebagai persamaan
yang unik bagi pekerja melalui pelatihan. Hal yang mempengaruhi atas kepuasan
kerja di seluruh dunia adalah kesempatan untuk menggunakan bakat dan pengembangan
karir, umpan balik kinerja yang spesifik dan kejelasan apa dan mengapa yang
diperlukan oleh organisasi. Manajer harus menjaga dialog dengan baik dan jelas (BlessingWhite,
2011).
Menurut
Schiemann (2011) banyak faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.
factor tersebut adalah Jaminan pekerjaan, perlakuan yang adil, kompensasi yang
mencukupi, diperlakuan dengan penuh hormat dan bermartabat, stres (seperti
konflik pekerjaan, keluarga, beban kerja dan target kinerja). Adanya komitmen
timbal balik hak (konsekuensi positif perusahaan atas kinerja yang baik dari
karyawan) yang tidak hanya mencakup upah atau benefit yang menarik,
tetapi juga pengembangan keterampilan, budaya inovatif atau ketersediaan sumber
daya tertentu yang memungkinkan karyawan untuk berkembang.
Schaufeli dan Bakker (2004) menyatakan bahwa
keterikatan kerja pada dasarnya dipengaruhi oleh dua hal yaitu
model JD-R (Job Demands Resources
model) dan modal psikologis. Model JD-R meliputi aspek lingkungan
fisik, sosial dan organisasi. Sedangkan modal psikologis terdiri dari
efikasi diri (self-efficacy), harapan
(hope), optimis (optimism) dan ketahanan (resilience).
Dari
berbagai faktor yang mempengaruhi employee engagement di atas, sebagian
besar menempatkan pada lingkungan kerja dan dukungan orgnisasi yang mendukung
kinerja tinggi di organisasi sebagai pembentuk keterikatan pada karyawan.
No comments:
Post a Comment